Siapa Bilang Menunggu itu Membosankan
Pernah merasakan yang
namanya menunggu? Saya yakin hampir semua orang atau bahkan bisa jadi semua
orang pernah merasakannya. Mulai dari menunggu hal-hal sederhana sampai luar
biasa. Mulai dari menunggu sebentar sampai waktu yang kita tidak tahu kapan
ujungnya. Karena hakikatnya, hidup ini adalah tentang menunggu.
Untuk kalian yang
bergelar mahasiswa tingkat akhir, tentunya menunggu sudah jadi makanan pokok
kalian. Mirisnya kalian dibuat harap-harap cemas dalam penantian itu. Mungkin
sudah seharian menunggu, orang yang ditunggu tak datang-datang. Pas datang,
antrian tak kunjung habis. Keesokan harinya datang lagi, tapi pembimbingnya
dikabarkan keluar kota. Selang beberapa hari, Si dia tak juga datang. Syukurlah
satu pekan menunggu, akhirnya dia datang. Tapi sayangnya, jadwalnya padat.
Undangan menghadiri ujian proposal, seminar hasil, dan ujian meja bergiliran
mengganggu jadwal konsulmu. Jika begitu, sudah bisa ditebak bagaimana
berkecamuknya hatimu. Saya turut prihatin kawan. Tapi tenang, bukan hanya kamu
kok yang merasakannya. Sebagian besar mahasiswa tingkat akhir juga pernah merasakannya.
Itulah salah satu konsekuensinya jadi mahasiswa.
Begitupun kalian yang jadi
pemburu cinta seseorang yang tidak menampakkan balasan positif, sungguh itu
menyakitkan bukan. Siang malam memikirkan cara untuk menarik perhatiannya agar
ia membalas cintamu. Tapi tak kunjung berbalas. Sangat mungkin kalian kecewa
dibuatnya. Apalagi jika kalian termasuk pemburu cinta yang tak bijak. Untuk
penunggu yang satu ini saya tak ikutan. Entahlah, sebelum belajar islam pun
saya tak terlalu memikirkan hal ini. Bukan menafikkan yang namanya perasaan
pada lawan jenis. Melainkan, saya paham bahwa perasaan itu hanya bisa terpenuhi
oleh ikatan suci pernikahan.
Nah, untuk kalian yang
tengah mendedikasikan diri pada aktivitas dakwah. Saya yakin kalian juga sedang
menunggu. Menunggu saat apa yang kalian perjuangkan diijabah oleh Allah.
Menunggu saat apa yang Rasulullah kabarkan itu terbukti. Menunggu saat apa yang
kalian tanam berbuah manis. Kalian tidak peduli atas tenaga, waktu, harta, dan
air mata yang kalian korbankan. Meskipun diluar sana banyak yang mencemoohmu,
kalian tetap istiqamah di jalan ini. Di jalan yang penuh onak dan duri.
(Foto mama yang sedang menunggu waktu shalat sambil membaca al-Quran)
Seperti itulah hidup,
selalu menunggu sesuatu. Padahal kata orang, menunggu itu membosankan. Bahkan katanya,
menunggu itu menjengkelkan. Meskipun begitu, menunggu itu bisa jadi berubah menyenangkan
jika kita mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kedatangannya.
Contohnya pada penunggu
yang pertama, menunggu dosen pembimbing. Aktivitas menunggu bisa jadi terasa
menyenangkan jika diisi dengan memperbaiki skripsi kamu sebelum dikoreksi oleh
pembimbing. Seperti yang dulu saya lakukan. Saat saya tidak bertemu dosen
pembimbing, saya sendiri yang mengoreksi skripsi saya. Kan lumayan, mungkin
terlihat kesalahan kecil tapi jika tidak ada, skripsi kita jauh lebih indah.
Misalnya, salah pengetikan, penempatan kata yang kurang pas, penjelasan yang
terlalu simpel atau mungkin malah terlalu rumit. Saya rasa itu bisa dikoreksi
sendiri, biar nanti pembimbing kita tidak lagi konsen kesitu. Apalagi biasanya
dosen pembimbing selalu emosi kalau menemukan banyak salah pengetikan. Itu sih
pengalaman saya, entahlah kamu juga pernah merasakannya atau tidak.
Begitu pula dengan contoh
penunggu yang kedua, menunggu balasan cinta seseorang. Nah untuk yang satu ini,
saran saya lebih baik berhentilah menunggunya kalau hanya ingin menjadikannya
pacar. Biasanya penunggu seperti ini selalu menghalalkan segala cara untuk
segera mendapatkan apa yang dia tunggu. Padahal bagaimana caranya bisa halal,
yang ditunggu saja adalah aktivitas yang tidak halal, pacaran.
Lain hal kalau menunggu
balasan seseorang untuk dijadikan pendamping hidup dalam ikatan suci
pernikahan, penantianmu sah-sah saja. Namun aktivitas menunggumu akan jauh
lebih indah, seandainya kamu mempersiapkan segala sesuatunya sebelum waktu itu
tiba. Misalnya memperbaiki pola pikir dan pola sikapmu tentunya agar sesuai
dengan islam, terus perbanyak wawasan tentang menjadi seorang istri atau suami,
juga bagaimana menjadi orangtua yang baik untuk anak-anakmu nanti. Bagi
perempuan cobalah belajar masak, belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan ibu
kita. Bagi lelaki baiknya cari pekerjaan
dululah dan cobalah perhatikan bagaimana ayahmu di rumah. Biasanya kita dapat
banyak ilmu darinya. Wah, sepertinya kalau membahas beginian bawaannya senyam
senyum terus. Padahal kata orang yang sudah menikah, membangun rumah tangga itu
tidak selalu penuh dengan senyuman tapi juga ada tangis, marah, kecewa dan
sebagainya. Siap-siap saja merasakannya (kode untuk diri sendiri juga ^_^).
Yang terakhir, aktivitas
menunggu bagi seorang yang berada di jalan dakwah. Orang seperti ini biasanya
tidak banyak. Kalaupun banyak hanya di awal. Lama-kelamaan orang –orang ini
akan terkikis sedikit demi-sedikit. Maklum, cobaannya berat. Mereka punya
banyak masalah lalu karena kekuatan iman, mereka harus membantu orang lain
untuk menyelesaikan masalahnya. Kalau tidak sabar, mereka bisa menyerah. Mungkin
karena itulah banyak orang yang tidak mau terjun pada aktivitas ini, padahal
sebagai seorang muslim kita dituntut untuk ambil bagian dalam aktivitas dakwah.
Tapi system sekarang memaksa manusia untuk individualis. Alhasil prinsip yang popular
adalah “Tidak perlu mengurusi urusan orang lain belum tentu kita juga baik”.
Sekilas, pernyataan ini baik kalau yang dimaksud tidak boleh gibah. Tapi jika tak boleh mengingatkan,
ini yang salah. Tentulah tidak ada yang menjamin dirinya baik, tapi bukan
berarti kita bisa terlepas dari kewajiban dakwah. Karena memperbaiki diri dan
mengingatkan orang lain itu dua hal yang berbeda.
Kembali ke contoh
penunggu yang ketiga. Menunggu saat apa yang kita perjuangkan di jalan dakwah
ini diijabah oleh Allah SWT. Banyak orang yang tidak tertarik untuk juga ambil
bagian karena menganggap apa yang diperjuangkan itu utopis. Padahal kita
meyakini bahwa tak ada yang utopis jika itu janji Allah dan Bisyarah
Rasulullah. Jangankan yang belum yakin, yang sudah yakin saja bisa mundur. Mereka
termakan oleh pardigma Menunggu itu
membosankan.
Benar, menunggu itu
memang membosankan. Namun itu terjadi jika kita tidak melakukan apa-apa untuk
menyambut kedatangan apa yang kita tunggu. Misalnya kita memperjuangkan agar
hukum Allah tegak kembali di muka bumi, sebelum itu terjadi kita mempersiapkan
ummat dahulu dengan syariah islam. Hal itu jauh lebih menyenangkan dibanding
kita sibuk memikirkan kapan ia tegak, padahal itu sudah janji Allah. Janji dari
zat maha penepat janji,
Karena menunggu itu bukan hanya tentang seberapa lama waktu menunggu anda. Tapi seberapa berkualitas anda melaluinya. Menunggu itu tergantung bagaimana kita menyikapinya, apakah kita ingin menjadikan ia membosankan atau malah menyenangkan. Apa yang anda lakukan selama proses menunggu itu yang menentukannya.
Maros, 25 Februari 2016
Menunggu berakhirnya jatah waktu
menunggu
0 komentar:
Posting Komentar