Mengontrol Rasa Tersinggung
Sedikit-sedikit tersinggung itu
tidak selalu bermakna negatif. Justru, malah berbahaya kalau kita tak pernah
tersinggung. Misal kita dengar nasihat tentang bahaya pacaran, minum khamr atau
berbohong misalnya. Begitupun dengan
larangan berhukum selain hukum Allah, riba, atau bergandengan tangan dengan
pembantai kaum muslim. Lalu kita ini punya pacar, masih susah meninggalkan
hamr, masih ragu dengan hukum Allah (syariah islam) atau masih terjerat riba
atau kadang-kadang masih suka berbohong. Tapi kita tidak tersinggung. Bahaya,
jangan-jangan itu salah satu alamat kalau hati kita sedang beku.
Di dunia ini banyak hal yang bisa
memancing orang lain tersinggung. Termasuk dari postingan kita. Terutama saat
kita memosting tentang pesan-pesan kebaikan. Ada yang merasa seakan-akan pesan
itu khusus ditujukan untuk dia saja. Padahal bisa jadi memang itu pas dengan
masalahnya, tapi itu bukan khusus untuk dia.
Misalnya, seorang ustadz menyampaikan
pesan kebaikan tentang dosa pacaran di khalayak ramai. Atau bhakan dia posting
di medsos. Lalu teman atau keluarganya membaca, dia tersinggung karena dia
punya pacar. Apakah teman atau keluargnya itu marah. Bisa jadi marah, tapi bisa
juga dia memilih untuk tidak marah. Dia berpikir bahwa yang pacaran itu bukan
hanya ‘saya’, di luar sana juga bnyak. Dan lebih bijaknya lagi, dia bisa saja
menjadi sadar dengan postingan itu. Atau saat si ustadz posting atau memasukkan
konten bahaya berburuk sangka dalam ceramahnya. Lalu saat itu bisa jadi
istrinya sedang berburuk sangka dengan si ustad ini. Si istri bisa saja marah,
tapi marah untuk apa. Allah melarang berburuk sangka bukan khusus untuk kita
saja. Contoh lain, dan ini mungkin paling sering muncul. Paling sering membuat
tersinggung atau salah paham saat postingan itu keluar dari seseorang dari
latar belakang harokah yang berbeda. Dan ini paling bahaya, karena ukhuwwah itu
bisa rusak.
Medsos hadir bukan tahun ini sja,
sudah bertahun-tahun. Ayolah mari kita bijak menaggapi setiap postigan teman, kolega,
saudara, atau bahkan orang yang menganggap kita musuh sekalipun. Kalaupun
postingannya pas dengan masalah kita, bijaklah menyikapinya. Ambil baiknya
buang buruknya. Yang perlu kita pahami, yang diseru berdakwah itu bukan hanya
untuk pak ustadz, sasaran dakwah itu tidak melulu hanya kita. Dan wasilahnya
tidak harus di atas mimbar. Maya dan nyata adalah lahan kita berdakwah.
Tersinggung boleh, bahkan harus
dihadirkan. Justru berbahaya kalau perasaan itu tak pernah muncul. Tapi, cara
kita menyikapinya itu yang harus dikontrol. Apakah ketersinggungan kita itu
jadi bahan untuk menyalahkan mereka yang posting kebaikan. Ataukah
ketersinggungan menjadi jalan untuk introspeksi diri. Termasuk dengan postingan
saya kali ini, bisa jadi memancing yang membaca tersinggung. Saya hanya bisa
meminta maaf, karena saya tak bisa mengontrol pikiran-pikiran pembaca. Meski
saya sudah berusaha menggunkan kata-kata yang bisa diterima oleh siapapun.
Namun, sangat mungkin masih ada yang menangkap berbeda dari apa yang ingin tersampaikan.
Kalau saya ingin menyalahkan
siapa saja yang telah membuat saya tersinggung. Banyak sekali, tak terhitung.
Guru, teman, sahabat, keluarga, pemerintah, ulama, rekan kerja, bahkan di
medsos-medsos saya sering sekali tersinggung. Bahkan saya sering berselancar di
mbah google hanya untuk ‘menyinggung diri saya sendiri’ saat kebaikan itu susah
sekali untuk diterima. Dan saya justru bersyukur karena hal itulah yang membuka
jalan-jalan hidayah ke diri saya. Rasa syukur itu banyak, tak bisa saya sebutkan
satu persatu. Selama dia tak menyebutkan khusus nama kita, kenapa kita harus
marah. Toh yang mendengar atau membaca bukan hanya kita. Justru mungkin itulah
cara dia menjaga perasaan kita dengan tidak menyebutkan khusus nama kita di
postingan atau ucapannya, karena bisa jadi postingan itu memang bukan khusus
untuk kita. Bisa jadi untuk dirinya sendiri, dan dia ingin kitapun yang membaca
menjadikan perkataan atau postingan itu sebagai jalan untuk introspeksi diri, bukan
untuk menghakimi orang lain.
Solusinya, yang posting perbaiki
niat, kita ingin dakwah atau mau menunjukkan tingginya ilmu kita. Kemudian gunakan
kata-kata yang ma’ruf. Bagi yang baca pun perbaiki niat, kita cari kebenaran
atau pembenaran. Kalau kita cari kebenaran, mau kata-katanya tidak ma’ruf pun
akan tetap diterima. Bukankah pesan kebanaran itu bisa keluar dari mulut siapa
saja. Entah itu anak kecil, murid, bahkan dari ‘lawan’ sekalipun.
Maros, Jum'at 29 Juni 2019
0 komentar:
Posting Komentar