Songkok Pute
Harian Fajar Edisi Minggu, 4 September 2016
Daeng
Rala tampak tampan hari ini.
Wajahnya sangat berseri. Pakaiannya juga bersih. Ia tak
lagi memakai pakaian lusuh yang sering
tiga
kali dipakai tanpa dicuci. Rambutnya jangan ditanya, selalu basah karena air wudhu. Padahal
sebelumnya ia tak pernah begitu. Pun
bau bajunya semerbak mewangi. Istrinya berlagak seperti orang jatuh cinta melihatnya,
setelah nyaris sedikitpun tak ada lagi cinta untuknya. Daeng Rala kembali
mengusap rambutnya dengan jemari di
depan cermin. Tak lupa ia letakkan songkok
pute di atas
kepalanya. Pelan-pelan.
Sembilan puluh nilai
Daeng Rala dari Daeng Minnong, istrinya. Nilai yang nyaris sempurna.
Hari
ini ia kembali datang shalat berjamaah ke masjid dengan peci putih. Selepas bulan yang
lalu, ia tak pernah melewatkan
shalat berjamaah di Masjid.
Bahkan iapun selalu jadi jamaah pertama yang datang. Dan, tak jarang selalu
menjadi muadzin. Ia memang banyak perubahan sejak bulan yang lalu.
Banyak
mata yang melihatnya sinis. Bukan karena rajinnya ia ke mesjid atau jadi muadzin. Bukan. Tapi karena
peci putih yang ia kenakan. Peci putih yang biasa dikenakan oleh orang yang
didepan namanya ada huruh H. Katanya peci
itu milik pak haji. Sementara ia hanya baru pulang dari umrah.
Bagi warga kampung kami, peci putih belum pantas dipakai oleh orang yang belum pernah naik haji.
Termasuk Daeng Rala. Namun Daeng Rala tak peduli. Ia terus saja memakai songkok
‘haji’ tiap harinya.
Waktu
shalat ashar sebentar lagi tiba. Daeng Rala kembali memakai songkok putih ke
masjid . “Pa, tidak kita liatki itu orang-orang, selaluta nalia-liaki. Kayaknya
tidak nasukai kalau pakeki songkok pute” komentar daeng Minnong.
“Masa',
perasaantaji
kapang. Siapa tau justru nasukai naliat” ucap Daeng Rala pura-pura tidak tahu. Padahal sebenaranya
diapun merasakan arti dari pandangan warga padanya. Ia berusaha tidak
mempedulikan. Semakin lama, ‘songkok
haji’ jadi temannya
kemana-mana. Tidak pernah sekalipun ia berada diluar rumah tanpa sonkok itu.
Warga
kampung kami semakin hari, semakin risih dengan ulah Daeng Rala. Hampir tidak pernah mulut mereka sepi dengan
komentar terhadap daeng Rala setiap melihatnya”
“Darimaki naik haji, daeng?” tanya Daeng Kulle
memastikan
“Belum, Daeng. Doakan mudah-mudahan tidak lama bisama
juga naik haji” jawab Daeng Rala santai.
“Kukira dari maki karena pakai songkok puteki’.
Berdosaki bede pakai songkok haji kalau belum pernah naik haji. Begitu juga kalau
tidak pakai songkok haji na hajimaki” jelas Daeng Kulle.
Daeng Rala menyeringai. Mengehela napas.
***
Tamu tak berhenti berdatangan. Sudah jadi kebiasaan di
tanah bugis- Makassar jika menggelar hajatan sebelum menunaikan haji, tamu
selalu ramai meskipun tidak ada undangan secara tertulis yang disebar. Biasanya
hanya kaluarga dekat yang mendapat undangan lisan langsung dari mulut si
pemilik hajatan. Selebihnya, informasi tersebut tersebar dari mulut ke mulut.
Tentu saja warga antusias menghadiri hajatan berbau Haji. Biar tertular rezeki
naik haji katanya.
Ibu-ibu, bapak-bapak, remaja dan anak-anak sudah duduk rapi
mengambil tempat. Ada yang memilih mengambil posisi paling dekat dengan Pak Ustad.
Ada pula yang lebih memilih posisi paling belakang. Daeng Minnong dan Daeng
Rala seakan tak habis tenaga menyapa setiap tamu yang datang. Senyumnya terus
tersungging, sangat ramah. Tamu
dispersilahkan duduk menikmati teh hangat dan kue tradisional khas kota Daeng
yang sudah disiapkan.
Daeng Rala terlihat rapi dengan piama putihnya. Sarung
putih bercorak garis – garis membuatnya tampak semakin bersih. Tidak terlewatkan
ia padukan dengan songkok putihnya. Daeng
Minnong juga terlihat rapih dengan busana muslimah yang tidak terlalu rompa. Samar-samar bisikan dari para
tetangga masih terdengar.
*
“Songkok haji tidak masalah dipakai asal tidak dianggap
wajib. Karena yang wajib sebagai penutup kepala itu kerudung bagi perempuan. Sedangkan
bagi laki-laki hanya disunnahkan memakai penutup kepala pada saat shalat.
Karena rambut tidak boleh menutupi dahi saat shalat. Boleh pakai songkok pute, songkok lotong, atau boleh juga pakai sorban” penjelasan Pak Ustad menjawab
pertanyaan dari salah satu jamaah.
“Kalau tidak
pakai songkok ustad, orang tidak tau kalau kita sudah haji”
Sebagian jamaah lainnya manggut-manggut tanda setuju.
“Tidak masalah,
kita naik haji kan bukan untuk kita dipanggil pak haji atau bu hajja oleh
manusia. Yang kita butuhkan adalah pujian dari Allah, bukan manusia.”
Pak ustad mengambil jeda “Lagipula gelar haji itu
tidak ada sebenarnya dalam Islam. Di zaman Rasulullah juga tidak dikenal gelar itu.
Lihat saja Rasulullah dan para sahabatnya sering pergi haji, tapi mereka tidak
dipanggil haji. Itu hanya budaya di Indonesia saja. Silahkan baca-baca sejarah
lagi” Pak Ustad menambahkan.
Daeng Minnong dan Daeng Rala saling berpandangan. Raut
wajahnya menggambarkan kelegahan.
“Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah…” (TQS. Al-Baqarah:196)
Marwah Thalib - Pengurus FLP Cabang Maros (CAMAR)
0 komentar:
Posting Komentar