Mengenang Kunyahan Sepotong Roti
“Janganlah
engkau mendekati Muhammad Karena dia orang gila, pembohong, dan tukang sihir.
Jika engkau mendekatinya engkau akan dipengaruhinya” begitu seorang pengemis
buta selalu berkata dahulu. Namun setelah ia mendengar kabar wafatnya
Rasulullah, ia pun mengehentikan kebiasaanya. Lagipula orang yang sering ia
caci telah tiada.
Sementara Abu Bakar ra tak menghentikan
kebiasaannya mengikuti Sunnah Rasul, meskipun kekasihnya itu telah tiada. Tak
satupun sunnah yang ingin ia lewatkan. Keseriusannya dalam mengamalkan sunnah
tergambar dari pertanyaannya pada Aisyah ra, anaknya tercinta sekaligus istri
kekasihnya.
“Wahai
putriku, adakah satu sunnah kekasihku yang belum aku tunaikan?”
Betapa
Abu bakar sangat serius mengikuti apapun yang dilakukan oleh Rasululullah,
diluar yang dikhususkan sebagai Nabi. Sekecil apa pun.
“Wahai
Ayahku, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu sunnah pun
yang belum engkau lakukan, kecuali satu.”
“Apakah
itu” mengerut dahi Abu Bakar. Benar kekhawatirannya bahwa ada yang terlewatkan
dari kebiasaan Rasul untuk ia ikuti.
“Setiap
pagi, Rasulullah selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk
seorang pengemis yahudi yang buta di sana.”
*
Abu
Bakar membuka bungkusan berisi roti yang ia bawa. Lalu menyuapkan roti tersebut
ke mulut pengemis yahudi di depannya. Namun belum juga ia menambah suapan
kedua. Pengemis buta itu menyentakkan kepalanya, menjauhkan mulutnya dari
tangan Abu Bakar.
“Siapa kau? Engkau bukan orang biasa datang
kepadaku. Ada kemarahan di dua bola matanya. “Jika dia datang kepadaku, tidak
susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah”.
Abu
bakar merasa haru bercampur rindu yang mendalam mendengar penuturan pengemis
buta itu. Sungguh kenangan akan kemulian kekasihnya yang tiada dendam membuat
Abu bakar tersedu sementara tangannya gemetaran “Aku memang bukan orang biasa
datang kepadamu. Aku salah seorang dari sahabatnya. Orang mulia itu telah
tiada. Dia adalah Muhammad Rasulullah.”
Benarkah
demikian? Pengemis buta itu tersentak. Ingatan tentang kebiasaannya dahulu terhadap
Rasulullah berkelebatan di kepalanya. Ia gemetaran. Ia terbayang caci makinya
pada lelaki yang disebutkan Abu Bakar pada setiap orang. Tak kuasa ia menahan
isakan.
“Benarkah
demikian?” Ia bergumam hampir tak percaya. “Selama ini aku selalu menghina,
memfitnah, dan menjelek-jelekkannya. Tapi….tapi,” terputus-putus kata-katanya. “Dia
tak pernah memarahiku, sedikitpun. Dia selalu mendatangiku setiap pagi. Membawakanku
makana. Dia…begitu mulia.”
Abu
Bakar dan pengemis buta itupun memecah keharuan dengan tangisnya.
Menelusuri jejak kebiasaan orang terkasih terkadang membuat dada disesaki kerinduan yang menghujam. Bayang-bayang bahasa tubuhnya seketika terputar kembali. Mengingatnya, membuat kecintaan kita makin bertambah. Bahkan sekalipun kita tak pernah berjumpa dengannya secara langsung. Tapi mendengar dan membaca kisahnya, serasa ia ada di hadapan kita.
Sumber gambar https://justnaim.files.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar