Kamis, 03 Desember 2015

Mengenang Kunyahan Sepotong Roti


“Janganlah engkau mendekati Muhammad Karena dia orang gila, pembohong, dan tukang sihir. Jika engkau mendekatinya engkau akan dipengaruhinya” begitu seorang pengemis buta selalu berkata dahulu. Namun setelah ia mendengar kabar wafatnya Rasulullah, ia pun mengehentikan kebiasaanya. Lagipula orang yang sering ia caci telah tiada.
 Sementara Abu Bakar ra tak menghentikan kebiasaannya mengikuti Sunnah Rasul, meskipun kekasihnya itu telah tiada. Tak satupun sunnah yang ingin ia lewatkan. Keseriusannya dalam mengamalkan sunnah tergambar dari pertanyaannya pada Aisyah ra, anaknya tercinta sekaligus istri kekasihnya.
“Wahai putriku, adakah satu sunnah kekasihku yang belum aku tunaikan?”
Betapa Abu bakar sangat serius mengikuti apapun yang dilakukan oleh Rasululullah, diluar yang dikhususkan sebagai Nabi. Sekecil apa pun.
“Wahai Ayahku, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum engkau lakukan, kecuali satu.”
“Apakah itu” mengerut dahi Abu Bakar. Benar kekhawatirannya bahwa ada yang terlewatkan dari kebiasaan Rasul untuk ia ikuti.
“Setiap pagi, Rasulullah selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis yahudi yang buta di sana.”
*
Abu Bakar membuka bungkusan berisi roti yang ia bawa. Lalu menyuapkan roti tersebut ke mulut pengemis yahudi di depannya. Namun belum juga ia menambah suapan kedua. Pengemis buta itu menyentakkan kepalanya, menjauhkan mulutnya dari tangan Abu Bakar.
 “Siapa kau? Engkau bukan orang biasa datang kepadaku. Ada kemarahan di dua bola matanya. “Jika dia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah”.
Abu bakar merasa haru bercampur rindu yang mendalam mendengar penuturan pengemis buta itu. Sungguh kenangan akan kemulian kekasihnya yang tiada dendam membuat Abu bakar tersedu sementara tangannya gemetaran “Aku memang bukan orang biasa datang kepadamu. Aku salah seorang dari sahabatnya. Orang mulia itu telah tiada. Dia adalah Muhammad Rasulullah.”
Benarkah demikian? Pengemis buta itu tersentak. Ingatan tentang kebiasaannya dahulu terhadap Rasulullah berkelebatan di kepalanya. Ia gemetaran. Ia terbayang caci makinya pada lelaki yang disebutkan Abu Bakar pada setiap orang. Tak kuasa ia menahan isakan.
“Benarkah demikian?” Ia bergumam hampir tak percaya. “Selama ini aku selalu menghina, memfitnah, dan menjelek-jelekkannya. Tapi….tapi,” terputus-putus kata-katanya. “Dia tak pernah memarahiku, sedikitpun. Dia selalu mendatangiku setiap pagi. Membawakanku makana. Dia…begitu mulia.”
Abu Bakar dan pengemis buta itupun memecah keharuan dengan tangisnya. 
Menelusuri jejak kebiasaan orang terkasih terkadang membuat dada disesaki kerinduan yang menghujam. Bayang-bayang bahasa tubuhnya seketika terputar kembali. Mengingatnya, membuat kecintaan kita makin bertambah. Bahkan sekalipun kita tak pernah berjumpa dengannya secara langsung. Tapi mendengar dan membaca kisahnya, serasa ia ada di hadapan kita.
Sumber gambar https://justnaim.files.wordpress.com






0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2014 Rumah Baca